Mematahkan karma diri sendiri dan karma keluarga
karma diri sendiri dan karma dalam keluarga apakah ada perbedaan? atau keduanya memiliki kesamaan yang tak terpisahkan ? Saya akan membahas pertanyaan tersebut secara lengkap di artikel tentang karma ini.

Pastinya teman-teman sudah banyak yang tahu tentang pengertian karma maupun contoh karma dalam kehidupan sehari-hari. Hukum karma adalah hukum sebab akibat yang terjadi berdasarkan perilaku manusia yang bersumber dari sifat dasar manusia itu sendiri. Pasti pernah mendengar tentang karma baik dan karma buruk kan?
Pegertian karma baik adalah suatu perbuatan yang didasari sebab baik dan berpotensi menjadi akibat baik. Jika sebab yang kita buat adalah kebaikan, maka akibat yang akan kita terima juga sebuah kebaikan. Karma baik biasanya diucapkan ketika mendapatkan kebaikan dalam hidup dalam bentuk fisik maupun kejiwaan.
Sedangkan pengertian karma buruk adalah kebalikan dari penjelasan karma baik diatas. Sebab buruk akan berakibat buruk. Seperti itulah pemahaman tentang karma yang diajarkan oleh guru, orang tua, maupun tokoh agama kepada murid, anak, dan masyarakat luas. Namun, kali ini saya akan membahas karma dari sudut pandang yang berbeda.
Karma adalah hukum alam
Kita pasti sepakat bahwa karma adalah hukum alam yang terjadi berdasarkan ritme aam semesta. Sebuah kekuatan maha besar yang menggerakkan segala perubahan dan segala kejadian yang terjadi di jagat raya ini. Ada sistem yang tidak bisa dikontrol oleh akal pikiran manusia. Seperti terbitnya matahari dari ufuk timur di setiap pagi, tidak mampu kita rubah dan kita belokkan sesuai keinginan dan pemikiran kita.
Hukum alam akan terus berjalan sesuai ritme yang sulit dijelaskan dengan logika manusia biasa. Tapi hukum karma tetap berjalan dan berlaku bagi siapa saja tanpa terkecuali. Dalam lingkungan masyarakat, keluarga, maupun diri sendiri sebagai pribadi mandiri, tidak pernah bisa mengelak ketika berurusan dengan karma.
Lantas, tidak bisakah kita melawan karma? Atau setidaknya kita mengatur karma yang akan kita terima hanya karma baik saja. yang buruk-buruk kita singkirkan jauh-jauh dari diri kita. Kabar baiknya adalah tidak bisa, lho hehe. Alasannya adalah kita tidak bisa mengontrol pemikiran kita, perbuatan kita, bahkan kata-kata kita untuk tidak berbuat buruk.
Sekecil apapun pemikiran, perkataan, dan perbuatan kita, secara langsung akan terakumulasi menjadi karma dan bisa dipastikan 100 % akan kita tuai di kemudian hari. Tidak ada pengampunan dan tidak ada penghapusan karma. Semua perbuatan, perkataan, dan pemikiran kita akan menjadi akibat nyata ketika bertemu dengan jodoh yang tepat.
Karma Diri Sendiri

Sedikit cerita tentang pengalaman pribadi ketika pertama kali mengenal karma. Ternyata karma itu nyata dan berasal dari kecenderungan sifat diri sendiri. Jika bisa mengontrol kecenderungan, diri sendiri pasti bisa memahami cara kerja karma. Begini awal ceritanya.
Saya adalah anak muda yang tidak pernah mempunyai impian besar untuk Indonesia. Saya selalu memikirkan kebahagiaan diri saya sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain. Salah satu sifat saya yang paling menonjol adalah sifat mencuri. Awalnya saya tidak mau mengakui bahwa saya punya kecenderungan mencuri.
Akan tetapi, setelah saya mengikuti pendidikan calon pandita Buddha Dharma Indonesia, saya mulai menyadari bahwa sifat buruk saya adalah suka mencuri dan gampang mengeluh. Sifat inilah yang membuat saya tidak bisa merasakan bahagia dan tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang.
Mencuri pun ada bermacam-macam. Mencuri waktu, mencuri uang, mencuri hati orang lain, mencuri keadaan/kesempatan, dan lain-lain. Akar sifat mencuri adalah tidak terima suasana. Suasana buruk yang ada di sekitar saya selalu saya tolak, kemudian saya mencari suasana baru yang menguntungkan bagi saya.
Ketika sekolah SMU dulu, saya sering bolos sekolah dan memilih untuk nongkrong di terminal dengan teman-teman karena bosan dengan suasana di sekolah maupun di rumah. Di rumah, pergaulan dan ruang gerak saya selalu dibatasi oleh orang tua. Saya tidak boleh keluar malam untuk berkumpul dengan teman-teman, dengan alasan biar tidak salah bergaul dan terpengaruh hal-hal buruk.
Karena batasan-batasan itu, teman-teman mulai meledek bahwa saya anak mami dan tidak gaul. Saya tidak terima dan untuk membuktikan diri bahwa saya tidak seperti yang mereka kira, saya mulai berani keluar rumah di malam hari melalui jendela kamar saya. Saya mulai belajar minum-minuman keras, dan sering mencuri rokok di warung orang tua saya untuk menyumpal mulut teman-teman agar menghormati saya.
Pada akhirnya, saya tidak naik kelas. Orang tua saya marah besar. Saya diusir dari rumah dan dianggap sebagai anak durhaka yang tidak menghargai dan selalu menyepelekan orang tua. Saya memutuskan untuk keluar dari sekolah dan mulai jarang pulang ke rumah karena sering tidur di rumah teman-teman saya.
Sifat mencuri ini bukan pemberian dari Tuhan. Akan tetapi, berasal dari karma saya sendiri yang saya bawa dari masa lampau. Agama Buddha Niciren Shoshu juga menjelaskan mengenai karma keluarga. Karma keluarga adalah karma yang dimiliki oleh semua anggota keluarga sejak turun temurun. Lebih jelasnya, dapat diketahui melalui konsep Perbedaan Manusia (Syujo Seken), yaitu manusia yang memiliki kecenderungan atau sifat yang sama, akan berkumpul menjadi satu kelompok yang sama.
Lalu, bagaimana caranya agar saya bisa lepas dari sifat mencuri dan mematahkan karma keluarga saya?
Saya adalah anak muda yang tidak pernah mempunyai impian besar untuk Indonesia. Saya selalu memikirkan kebahagiaan diri saya sendiri tanpa mempedulikan keadaan orang lain. Salah satu sifat saya yang paling menonjol adalah sifat mencuri. Awalnya saya tidak mau mengakui bahwa saya punya kecenderungan mencuri.
Akan tetapi, setelah saya mengikuti pendidikan calon pandita Buddha Dharma Indonesia, saya mulai menyadari bahwa sifat buruk saya adalah suka mencuri dan gampang mengeluh. Sifat inilah yang membuat saya tidak bisa merasakan bahagia dan tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang.
Mencuri pun ada bermacam-macam. Mencuri waktu, mencuri uang, mencuri hati orang lain, mencuri keadaan/kesempatan, dan lain-lain. Akar sifat mencuri adalah tidak terima suasana. Suasana buruk yang ada di sekitar saya selalu saya tolak, kemudian saya mencari suasana baru yang menguntungkan bagi saya.
Ketika sekolah SMU dulu, saya sering bolos sekolah dan memilih untuk nongkrong di terminal dengan teman-teman karena bosan dengan suasana di sekolah maupun di rumah. Di rumah, pergaulan dan ruang gerak saya selalu dibatasi oleh orang tua. Saya tidak boleh keluar malam untuk berkumpul dengan teman-teman, dengan alasan biar tidak salah bergaul dan terpengaruh hal-hal buruk.
Karena batasan-batasan itu, teman-teman mulai meledek bahwa saya anak mami dan tidak gaul. Saya tidak terima dan untuk membuktikan diri bahwa saya tidak seperti yang mereka kira, saya mulai berani keluar rumah di malam hari melalui jendela kamar saya. Saya mulai belajar minum-minuman keras, dan sering mencuri rokok di warung orang tua saya untuk menyumpal mulut teman-teman agar menghormati saya.
Pada akhirnya, saya tidak naik kelas. Orang tua saya marah besar. Saya diusir dari rumah dan dianggap sebagai anak durhaka yang tidak menghargai dan selalu menyepelekan orang tua. Saya memutuskan untuk keluar dari sekolah dan mulai jarang pulang ke rumah karena sering tidur di rumah teman-teman saya.
Sifat mencuri ini bukan pemberian dari Tuhan. Akan tetapi, berasal dari karma saya sendiri yang saya bawa dari masa lampau. Agama Buddha Niciren Shoshu juga menjelaskan mengenai karma keluarga. Karma keluarga adalah karma yang dimiliki oleh semua anggota keluarga sejak turun temurun. Lebih jelasnya, dapat diketahui melalui konsep Perbedaan Manusia (Syujo Seken), yaitu manusia yang memiliki kecenderungan atau sifat yang sama, akan berkumpul menjadi satu kelompok yang sama.
Lalu, bagaimana caranya agar saya bisa lepas dari sifat mencuri dan mematahkan karma keluarga saya?
Mematahkan Karma Keluarga
Orang tua saya juga mempunyai kecenderungan jiwa yang sama dengan saya. Dahulu ibu selalu protes kepada nenek saya karena selalu mengatur dan menyuruh ibu membantu pekerjaan nenek yang menurut ibu sangat berat, yaitu membuat gethuk. Ibu juga sering menyelinap keluar rumah untuk bermain ke rumah teman-temannya. Ibu juga memutuskan untuk keluar sekolah karena tidak tahan selalu dimarahi pak guru dengan alasan selalu telat masuk kelas.

Jika dilihat dari pengalaman hidup saya di atas, berarti teori Perbedaan Manusia (Syujo Seken) benar. Cara hidup saya adalah selalu berusaha lari dari kenyataan dan hanya ingin hidup enak, tetapi tidak mau bekerja keras dan selalu ingin dihormati oleh orang lain. Mencuri juga karena ingin hidup enak tanpa harus bekerja keras dan untuk tujuan dihargai dan dihormati teman-teman.
Setiap ada peluang dan kesempatan untuk mengenakkan diri, selalu saya manfaatkan tanpa memperhitungkan akibatnya. Setelah saya mengetahui kesesatan saya, sekarang saya mengerti kenapa saya tidak pernah berani punya impian yang besar. Jawabannya adalah karena saya malas dan hanya ingin hidup enak saja. Sifat mencuri saya adalah sifat dari Dunia Binatang yang mencakup Dunia Ashura.
Dunia Binatang dan Dunia Asura adalah dua dari Sepuluh Dunia atau keadaan jiwa manusia. Dunia yang lainnya adalah Neraka (penderitaan), Dunia Keserakahan (serakah dan tidak pernah merasa Dunia puas), Dunia Binatang (malas, terikat hawa nafsu, dan bodoh), Dunia Asura (kesombongan dan kemarahan), Dunia Manusia (tenang), Dunia Surga (gembira tetapi hanya sesaat), Dunia Sravaka (mencapai kesadaran dengan belajar), Dunia Pratekyabuddha (mencapai kesadaran melalui jodoh suasana/alam), Dunia Bodhisatva (memikirkan kebahagiaan orang lain), dan Dunia Buddha (kuat, suci, dan tenang. Kesadaran tertinggi).
Sepuluh Dunia ini, silih berganti muncul di dalam jiwa kita. Semua orang di dunia ini memiliki Sepuluh Dunia ini. Sepuluh Dunia ini bergerak secara dinamis dan sekejap-kejap berubah ketika bertemu dengan jodoh suasana yang mendukung. Hal ini disebut dengan Sepuluh Dunia saling mencakupi (Jukkai Gogu).
Karma Berat Diterima Ringan
Di dalam hukum Icinen Sanzen, juga diajarkan mengenai Bonno Soku Bodai, yaitu hawa nafsu adalah kesadaran. Maksudnya adalah ketika saya menyadari bahwa mencuri itu salah, maka saat itu berarti saya sadar, dan berusaha agar jangan mengulanginya kembali.
Akan tetapi, apabila sifat saya ini saya dasari dengan filsafat Icinen Sanzen, maka akan menjadi tenaga produktif bagi kemanusiaan. Jadi, saya tidak perlu malu dan tidak perlu membuang sifat mencuri ini. Keistimewaan orang yang punya sifat suka mencuri, adalah pintar mencari dan melihat peluang.
Kini, dengan dasar Ajaran Buddha dan menyebut mantra agung Nammyohorengekyo, saya ingin mengalihkan sifat mencuri saya yang awalnya untuk kepentingan diri sendiri, menjadi untuk kebahagiaan orang lain. Hal ini bisa saya lakukan apabila saya rajin meninjau diri di depan Gohonzon dan percaya jiwa kekal abadi.
Maka, nasib seperti apa pun bisa diubah dan karma seberat apa pun bisa dipatahkan. Termasuk karma keluarga saya juga bisa saya patahkan jika saya mematahkan kesesatan saya terlebih dahulu.
Apabila sifat saya berubah, keluarga dan lingkungan saya juga akan berubah. Dalam hukum Buddha, ini dinamakan E Syo Funi, yaitu subjek dan lingkungan yang tak terpisahkan. Selama ini, saya punya sifat suka lari dari kenyataan dan suka mencuri, maka lingkungan saya pun pasti juga demikian. Buktinya adalah dulu hutan di desa saya habis karena dicuri oleh penduduk sekitar, yaitu para tetangga saya sendiri.
Maka dari itu, untuk mengubah lingkungan, saya harus mengubah sifat saya terlebih dahulu. Jika saya berubah, maka lingkungan sebagai bayangan saya, pasti akan berubah.
Panjang ya ceritanya, gak papa lah ya, supaya lebih mudah dipahami dan dimengerti. Kesimpulannya, karma baik maupun buruk akan tetap kita terima, namun cara terima satu persatu orang berbeda-beda. Dengan menerima sifat dan kecenderungan diri sendiri, pada akhirnya karma berat pun bisa diterima dengan ringan.
Jika menyadari jiwa kekal abadi, kita tidak akan heran ketika tiba-tiba menerima karma buruk, padahal sudah menjaga sikap dan perilaku sebaik mungkin. Itulah yang disebut karma lain saat atau karma dari masa lampau kita.
Kesimpulan
Jadi, yang paling penting bukan menghindari karma dan selalu berusaha berbuat baik agar mendapat karma baik, tetapi harus bersiap bahwa karma baik maupun karma buruk yang kita terima, bisa kita terima dengan ringan dan tenang. Itulah kunci kebahagiaan sesungguhnya dalam hidup kali ini.
Jangan berpikir karma adalah balasan, karena kebenarannya adalah, karma berasal dari sikap, sifat, dan perilaku diri kita sendiri. Buah yang harus kita tuai dalam hidup. Semoga tuisan ini menginspirasi untuk teman-teman semua dan mari kita wujudkan kebahagiaan untuk seluruh manusia di jagat raya ini.
Salam
Bagaimana cara mengetahui kecenderungan diri kita sendiri? Langkah apa saja yang harus dilakukan?
BalasHapus